EKONOMI

Sengketa PT MBJ vs PT PMJ Lumpuhkan ‘Nyawa’ Rakyat Kecil

Jalan Jadi Kubangan Hingga Listrik Padam di Desa Sengkong Pasca Penutupan PT PMJ

Tak seperti malam biasanya. Malam ini Desa Sengkong terasa lebih kelam. Bukan hanya karena jam operasional genset yang dibatasi, tetapi juga asa masyarakat sekitar yang kian meredup. Hal itu terjadi setelah PT Pipit Mutiara Jaya (PMJ) – sang “Pipit” yang selama ini menjadi penopang hidup ribuan warga – dipaksa berhenti beroperasi.

ALAMSYAH, satukaltara.com

SUARA bernada letih Kepala Desa Sengkong, Sulaiman tak bisa disembunyikan. Di sela-sela waktu kerjanya, media ini sudah menghubunginya. Tentu saja membahas persoalan yang tengah membelit warga di wilayah kerjanya. Apalagi kalau bukan soal PT PMJ yang dituduh ‘illegal mining’ oleh kompetitornya.

Tak sampai di situ, Sulaiman juga bertambah gusar setelah menyaksikan secara langsung dampak berhentinya aktivitas penambangan PT PMJ. Dalam hitungannya, dari 106 Kepala Keluarga (KK) yang dia pimpin, hampir setiap rumah kini kehilangan tiang penyangga, yakni pekerjaan. Hal itu terjadi setelah PT PMJ memutuskan untuk merumahkan mereka.

Kondisi ini tentu saja dikeluhkan warga yang seolah menarik mundur desa ini ke era kegelapan. Bagi warga, bahkan Sulaiman menilai, ini bukan sekadar konflik korporasi; ini adalah tragedi kemanusiaan yang dingin di tengah gemerlapnya emas hitam Kalimantan Utara.

“Saat PMJ tutup, banyak yang menganggur. Sekitar 60 jiwa yang hampir mewakili setiap rumah tangga di sini,” ungkap Sulaiman, suaranya tercekat.

Mereka, lanjut Sulaiman kemudian, adalah angkatan kerja terbaik di Desa Sengkong. Ada yang ahli sebagai operator alat berat dengan gaji stabil. Ada yang memilih menjadi sekuriti demi menjaga ketenangan, hingga pekerja non-keahlian yang kini terpaksa menukar helm tambang dengan jaring nelayan atau alat pertukangan. Transisi ini, kata Sulaiman, bukan kebangkitan kearifan lokal, melainkan kemunduran paksa.

“Mata pencaharian itu tidak sebanding. Dampak penutupan membuat ekonomi seperti tidak bergerak,” keluhnya.

Padahal, kata dia, saat ini Desa Sengkong sedang membangun, namun palu godam dari sengketa hukum di Ibu Kota kini merobohkan fondasi ekonomi mereka. Jika krisis ekonomi melumpuhkan perut, maka kerusakan infrastruktur merenggut denyut nadi desa. Jalan tambang, yang menjadi satu-satunya akses keluar masuk menuju kabupaten, kini tak terurus. Ia berubah menjadi kubangan lumpur, dilahap rumput liar dan semak belukar. Tak terurus.

Dulu, papar Sulaiman, kehadiran PT PMJ adalah jaminan. Ada truk yang macet, alat berat segera dikirim. Ada jalan yang rusak, segera diperbaiki. Bantuan itu kini lenyap. Kerusakan parah di jalur utama telah menjadi hukuman kolektif bagi seluruh warga yang harus berjuang melewati labirin lumpur untuk sekadar berbelanja atau menjual hasil panen.

Ya, PT PMJ kini tersandung kasus hukum yang muncul setelah dua puluh tahun beroperasi. Mereka dituduh melakukan aktivitas tambang ilegal, sebuah klaim yang bagi kepala desa muda ini absurditas yang menyakitkan. Sulaiman memang menjadi perisai bagi perusahaan yang selama ini menjadi bapak asuh desa. Ia bahkan menunjuk satu fakta tak terbantahkan, yakni CSR (Corporate Social Responsibility) PT PMJ selama ini terus mengalir, bahkan di tengah badai krisis di Desa Sengkong belakangan ini.

“Seandainya dikatakan ilegal, itu enggak ada CSR di desa kita. Enggak ada bantuan, enggak ada sosialisasi,” tegasnya, menantang logika para pelapor dan penegak hukum.

Dukungan listrik desa yang berasal dari genset dan BBM PT PMJ sejak 2006 dan 2010 masih berjalan, memastikan cahaya listrik tetap menyala dari pukul 18.00 hingga 24.00 WITA. Bantuan untuk lansia, guru mengaji, hingga pembangunan pemakaman, semua adalah bukti otentik legalitas moral dan sosial Pipit.

Menurutnya, sengketa hukum ini adalah permainan “sangat politis sekali” yang muncul menjelang perpanjangan izin PT PMJ. Permainan yang dampaknya dibayar tunai dengan air mata masyarakat kecil. Di ujung pembicaraan, Sulaiman tidak lagi memohon. Ia justru menuntut keadilan. Harapan terbesarnya sederhana: kasus hukum tuntas cepat, dan PT PMJ segera beroperasi kembali.

“Apapun nanti diminta bantuan untuk saksi kek, saya siap, Pak, untuk membela PT PMJ,” serunya, lantang.

Ia menutup dengan sebuah peribahasa yang menggema di setiap lorong desa yang gelap; “Tumpul ke atas, tajam ke bawah. Biar itu penegak hukum lihat nih ke bawah. Lihatlah kondisi kita yang di bawah sini,” sindirnya tajam.

Seruan tersebut bukan hanya ditujukan kepada Majelis Hakim di PN Tanjung Selor, tetapi kepada seluruh pemangku kebijakan di Kaltara: Ketika konflik korporasi menjadi palu godam, pasti yang menjadi korban adalah rakyat kecil. Sengkong sedang menunggu keadilan yang bisa menggerakkan kembali mesin, menyalakan kembali lampu, dan menghidupkan kembali harapan. (*)

Berikan komentarmu!
Show More

Related Articles

Back to top button