Di balik ledakan bom rakitan di sekolah, ada persoalan yang lebih senyap: perundungan, radikalisme, dan keharusan memahami remaja di era post-truth.
Oleh : Muhammad Ghazali Idrus
(Guru SMP Negeri 1 Nunukan Selatan)
JUMAT siang itu, 7 November 2025, suasana di SMA Negeri 72 Kelapa Gading tampak biasa saja. Siswa bersiap untuk salat Jumat di masjid sekolah. Siapa sangka, beberapa menit berikutnya terjadi ledakan keras memecah udara. Beritanya menyebar dalam hitungan menit. Video amatir bermunculan, Suasana panik, takut, marah dan beragam reaksi mewarnai televisi dan linimasa media sosial. Di antara riuh kerumunan dan serpihan, muncul kabar bahwa pelaku diduga seorang siswa dengan bom yang dirakit sendiri. Polisi menyebut, anak itu adalah korban perundungan. Seketika pernyataan ini mengubah wajah tragedi. Ledakan di sekolah bukan hanya soal bahan peledak, tapi juga tentang persoalan kasat mata yang sering kali terabaikan. Ironipun bermula.
Di atas kertas, sekolah adalah institusi Pendidikan yang menjanjikan kenyamanan. Di lapangan, ia kadangkala menjelma menjadi ruang persaingan sosial. Guru sibuk dengan administrasi, pelatihan, target kurikulum, dan angka rapor. Sementara siswa sibuk bertahan dari tekanan agar diterima, agar dianggap cukup, agar tidak menjadi bahan ejekan, oleh orang di sekitarnya. Setiap hari, mereka belajar“menjadi kuat”, seolah menyembunyikan penyakit kronis. Di sela tawa, foto ekskul dan video angkat piala, ada anak-anak yang menahan diri untuk tidak menangis di hingar bingar sekolah. Anak-anak yang perlahan berasumsi bahwa tidak ada tempat yang aman, bahkan di ruang yang seharusnya mendidik mereka menjadi manusia seutuhnya.
Riset UMSIDA (2023) mencatat bahwa korban bullying mengalami dampak psikologis berat: rendah diri, trauma sosial, hingga keinginan untuk menarik diri dari lingkungan. Namun sistem sekolah di Indonesia jarang menganggap ini sebagai krisis. Bullying dianggap urusan pribadi, atau “konflik antar teman sebaya”. Padahal di balik setiap ejekan dan dorongan di koridor, ada pesan sosial yang menakutkan: “Kamu tidak cukup baik untuk diterima.”
Sistem pendidikan telah mengukur kemampuan afektif, akan tetapi lupa memeliharanya.
Kita tahu siapa yang berdoa sebelum belajar, siapa yang mengirim pesan dengan kalimat santun, tapi tak tahu siapa yang menangis diam-diam di belakang gedung, kantin dan kamar-kamar sunyi. Kita tahu siapa yang aktif di OSIS dan ekstrakurikuler lain, tapi tak banyak tahu siapa yang diam karena merasa tak punya teman bercerita. Ketika seorang anak merasa benar-benar sendirian, itu pertanda bahwa sekolah kehilangan fungsi sosialnya. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang tumbuh, berubah menjadi ruang asing yang dingin meski penuh dengan suara. Di titik itu, kesepian menjadi lahan subur bagi ide-ide ekstrem. Lahan bagi narasi kebencian, ideologi balas dendam, atau bahkan keinginan untuk “membuktikan diri”. Ruang digital memperparah situasi, ia menawarkan komunitas semu yang menerima tanpa bertanya, memeluk tanpa memahami. Bagi sebagian anak yang tak pernah merasa didengar, dunia maya itu terasa lebih manusiawi daripada ruang kelasnya sendiri.
Sekolah mungkin mengajarkan nilai-nilai moral di atas papan tulis, tapi tidak fokus menciptakan ruang di mana nilai itu hidup. Guru menasihati agar jangan membenci, tapi kadang tidak sadar bahwa tatapan atau candaan bisa memperkuat rasa terasing. Kita membicarakan karakter, tapi jarang membicarakan bagaimana karakter tumbuh dari rasa diterima dan dihargai. Maka ketika korban perundungan mulai kehilangan kepercayaan pada manusia, bukan karena ia lemah, tapi karena lingkungannya lebih sibuk menilai daripada memahami, ledakan emosional dan literal pun tinggal menunggu waktu saja.
Kita terbiasa menganggap radikalisme sebagai hasil dari indoktrinasi ceramah keras, forum rahasia, atau situs propaganda. Hingga tidak menyadari bahwa sebelum itu ada sesuatu yang lebih mendasar, yaitu rasa kehilangan arah dan makna. Seseorang yang merasa hidupnya tak punya tempat, akan mencari makna di tempat lain, dan ideologi ekstrem selalu menawarkan makna terebut melalui kepastian. Di tengah dunia yang terasa tidak adil, narasi ekstrem menjanjikan peran heroik.
Bagi anak yang sehari-hari diabaikan, diremehkan, atau diejek, ideologi itu datang seperti tangan yang mengangkat: “Kau penting. Kau istimewa. Kau pejuang.” Itulah jebakan paling kuat dari paham radikal. Ia bukan sekadar ajaran kebencian, tapi terapi palsu bagi luka sosial yang tak diobati.
Riset dari Pusat Kajian Terorisme BNPT (2022) menunjukkan bahwa mayoritas individu muda yang terpapar paham ekstrem mengalami krisis identitas dan penolakan sosial di masa remajanya.
Sebagian bukan datang dari lingkungan religius yang ketat, tapi justru dari latar yang sepi perhatian.
Mereka bukan korban doktrin semata, tapi korban kehilangan rasa memiliki. Dalam konteks sekolah, kesepian yang berlarut-larut bisa berubah menjadi kemarahan. Kemarahan tak lagi tinggal diam di era digital. Media sosial memberi wadah bagi ekspresi ekstrem dari forum anonim, video propaganda, hingga grup tertutup yang menawarkan “kebenaran alternatif.” Di sinilah dunia post-truth bekerja. Batas antara fakta dan opini kabur, antara kritik dan kebencian meleleh.
Satu menit unggahan emosional bisa lebih berpengaruh daripada satu jam pelajaran Pendidikan Pancasila. Kebenaran tak lagi diuji melalui logika, tapi melalui like, share, dan komentar. Di dalam pusaran ini, anak-anak yang terluka mudah tersedot. Algoritma menjadi cermin yang memperkuat rasa sakit bagi mereka. Semakin sering mereka mencari hal-hal tentang “balas dendam” atau “ketidakadilan”, semakin banyak konten ekstrem yang muncul di linimasa. Sadar atau tidak, internet menciptakan ruang gema (echo chamber) bagi frustrasi yang tak tersalurkan.
Fenomena ini bukan lagi fenomena lokal. Remaja di Jakarta dengan mudah menyerap narasi ekstrem yang sama dengan remaja di Eropa atau Timur Tengah. Mereka mungkin tidak memahami seluruh ideologi di baliknya, tapi mereka memahami tentang kemarahan terhadap dunia yang tidak ingin mendengarnya. Itulah titik berbahaya dalam pendidikan kita. Ketika anak-anak kehilangan kepercayaan pada dunia nyata, dan mulai mencari rumah di dunia virtual yang penuh kebencian.
Dunia tempat anak-anak kita tumbuh hari ini bukan lagi dunia yang sama seperti dua dekade lalu. Mereka hidup di tengah ledakan informasi, di mana setiap orang bisa menjadi penyiar, setiap emosi bisa menjadi berita, dan setiap kebohongan bisa terasa seperti kebenaran asal dikatakan dengan cukup sering. Dunia yang disebut para peneliti sebagai era post-truth. Era ketika kebenaran objektif kalah oleh kekuatan emosi dan opini pribadi. Era dimana fakta harus bersaing dengan narasi yang lebih dramatis, dan logika kalah oleh viralitas.
Banyak remaja yang menganggap algoritma media sosial sebagai penentu realitas. Mereka mengenal dunia melalui potongan video berdurasi 15 detik, potongan opini, dan emosi yang dinarasikan dengan logika mesin. Video yang memancing keterlibatan berupa kemarahan, ketakutan, ataupun kebencian. Di layar gawai inilah panggung global radikalisme meneriakkan idenya. Narasi ekstrem tidak lagi memerlukan ruang bawah tanah atau kamp pelatihan tertutup. Ia beredar melalui meme, thread, dan shorts yang dikemas dengan visual menarik dan retorika emosional.
Sebuah laporan dari Institute for Strategic Dialogue (2023) menyebutkan bahwa kelompok ekstrem di seluruh dunia kini menggunakan strategi digital berbasis “emosi kolektif”. Mereka menargetkan anak muda yang merasa terasing, kecewa, atau kehilangan arah. Dalam jaringan itu, seorang remaja di Jakarta bisa dengan mudah tersambung dengan akun propaganda di luar negeri yang berbicara dengan nada universal: “Dunia telah rusak, dan hanya kita yang bisa memperbaikinya.”
Ironinya, sistem pendidikan kita lebih banyak mengajarkan siswa cara mencari informasi, tapi belum memberi porsi besar pada cara memverifikasi kebenaran. Kita masih memperlakukan literasi digital seolah itu sekadar kemampuan membuka laptop, bukan kemampuan membaca pola manipulasi emosi. Padahal, seperti ditulis oleh Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century, bahwa pertarungan terbesar abad ini bukan antara ideologi, tapi antara kebenaran dan ilusi.
Sekolah yang gagal membekali murid dengan kemampuan berpikir kritis sama saja membiarkan mereka hanyut di lautan ilusi itu.Mereka tahu cara mengunduh aplikasi, tapi tidak tahu cara mengunduh makna. Mereka pandai mengetik opini, tapi tak tahu bagaimana menimbangnya. Dua wajah globalisasipun menampakkan diri. Di satu sisi, ia membuka akses terhadap ilmu dan budaya dunia. Sementara di sisi lain, ia juga mempercepat penyebaran kemarahan kolektif lintas batas. Sebuah ejekan di forum luar negeri bisa memicu emosi remaja di Indonesia. Sebuah video teori konspirasi yang diunggah di Eropa bisa menyalakan perasaan curiga pada lembaga pendidikan di Asia Tenggara.
Sekolah kita berdiri di tengah arus deras informasi yang nyaris tak bisa dikendalikan.
Sementara papan tulis masih berisi rumus dan definisi, dunia di luar sana sudah berganti halaman sepuluh kali sehari. Guru, yang seharusnya menjadi pemandu pengetahuan, kini sering tertinggal oleh arus digital. Bukan karena mereka tidak mau belajar, tapi karena sistem terlambat menyiapkan mereka untuk menghadapi generasi yang tumbuh dengan algoritma.
Riset UIN Sunan Kalijaga (2022) menunjukkan bahwa sebagian besar guru di Indonesia belum memiliki kemampuan literasi digital yang memadai untuk mendeteksi atau menangkal narasi ekstrem di ruang daring. Sementara itu, siswa justru menghabiskan rata-rata 7–9 jam per hari di dunia maya. Sebuah paradoks yang membuat sekolah kehilangan fungsi kontrol sosialnya. Di ruang-ruang kelas, kita masih memberi porsi banyak pada nilai ujian untuk masa depan, bukan nilai kemanusiaan. Kita masih lebih cepat menegur anak yang tidak mengerjakan PR daripada mendengarkan anak yang mulai kehilangan semangat hidup.
Tantangan terbesar pendidikan bukan lagi sekadar transfer of knowledge, melainkan filter of knowledge. Pendidikan mengajarkan siswa untuk tidak hanya tahu, tapi juga bijak dalam memilih apa yang ia yakini. Pendidikan karakter sering terjebak menjadi ceramah moral yang datar, bukan dialog kemanusiaan yang menggugah. Kita lupa bahwa anak-anak tidak belajar empati dari pemanfaatan digital dan Artificial Intelegent, tapi dari pengalaman diperlakukan sebagai manusia. Mereka tidak akan memahami keberagaman dari lembar kerja peserta didik, tetapi dari ruang aman yang membiarkan mereka berbeda tanpa menerima cemoohan.
Ledakan di SMA 72 Kelapa Gading kelak akan usai diselidiki. Polisi akan menemukan motif, media akan menulis kronologi, dan masyarakat akan berpindah ke isu berikutnya. Namun kita tidak boeh berhenti sampai disitu, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang sama. Sebuah peristiwa harus dipahami dari ekosistem yang melahirkannya. Di balik setiap tindakan ekstrem ada rangkaian kegagalan kecil yang diabaikan. Guru yang terlalu sibuk mengajar nilai tapi lupa menanyakan kabar, teman yang ikut tertawa saat seseorang dipermalukan, orang tua yang berpikir anaknya baik-baik saja karena nilainya stabil, dan masyarakat yang lebih cepat menghakimi daripada memahami.
Kita terlalu sering menuduh anak muda “mudah terprovokasi”, padahal mereka hanya mudah kehilangan pegangan di dunia yang tidak memberi ruang untuk salah dan belajar. Pendidikan seharusnya tidak hanya melahirkan siswa pandai, tapi juga manusia yang utuh, yang tahu bagaimana menghadapi rasa sakit tanpa membalas dengan kebencian. Sekolah dkondisikan menjadi ruang yang benar-benar aman, tempat di mana setiap anak merasa diakui, bukan diukur. Ledakan di sekolah itu memang keras. Tapi yang lebih berbahaya adalah ledakan senyap di dalam jiwa anak-anak yang merasa tidak terlihat. Ledakan yang tak terekam kamera, tak viral di media sosial, tapi pelan-pelan menggerogoti masa depan.
Mencegah radikalisme di sekolah tidak cukup dengan menambah jam pelajaran agama atau menempelkan poster toleransi di dinding. Kita perlu menata ulang cara kita mendidik, dari sekadar menanamkan pengetahuan menjadi menumbuhkan kesadaran yang benar kesadaran. Kita harus berani mengakui bahwa literasi digital, empati sosial, dan keadilan emosional adalah bagian dari kurikulum yang tak kalah penting dari matematika atau sains. Sebab pada akhirnya, pendidikan bukan tentang mencetak juara olimpiade, tapi tentang menyelamatkan manusia dari kehancuran dirinya sendiri. (*)



