Pencemaran Lingkungan

  • Tuntutan Hukum dari Pencemaran Lingkungan Mencuat di Bunyu

    BUNYU – Dugaan pelanggaran hukum serius di sektor lingkungan hidup kembali mencoreng citra pertambangan di Kalimantan Utara. Kali ini, sorotan tajam diarahkan kepada PT. SPP (Saka Putra Perkasa) yang beroperasi di Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan, setelah ditemukan aliran air pekat yang diduga kuat merupakan limbah batu bara dan dibuang langsung ke laut.

    Peristiwa yang dilaporkan terjadi di Jalan Sungai Lumpur, Tanjung Batu, Desa Bunyu Barat, ini memicu desakan keras dari masyarakat dan aktivis untuk penegakan hukum maksimal, termasuk potensi pencabutan izin usaha.

    ​Pengungkapan kasus ini datang dari Zulkarnain, seorang pemuda lokal yang dikenal kritis terhadap isu pencemaran lingkungan. Ia mengaku terkejut ketika meninjau lahan kebunnya dan mendapati jalan terhalangi oleh jalur air yang terkandung material limbah batu bara dari PT. SPP.

    Menurutnya, air limbah tersebut tidak melalui proses sterilisasi yang memadai sebelum dibuang, sebuah indikasi kuat adanya kelalaian prosedur yang bertentangan dengan standar baku mutu lingkungan yang diwajibkan oleh regulasi.

    “Perbuatan pembuangan limbah tambang yang tidak diolah itu menimbulkan dampak kerusakan yang sangat signifikan. Selain merusak ekosistem pesisir, pencemaran ini secara langsung menyulitkan para nelayan mencari ikan di perairan Bunyu, mengancam mata pencaharian utama masyarakat lokal”, ujar Zulkarnain yang mengkhawatirkan kerusakan lingkungan meluas di Pulau Bunyu.

    ​Dalam perspektif hukum, tindakan pembuangan limbah ke media lingkungan tanpa izin yang menyebabkan pencemaran dapat dikategorikan sebagai tindak pidana lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) secara tegas melarang setiap orang melakukan dumping (pembuangan) limbah dan/atau bahan ke media lingkungan tanpa izin, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 Jo. Pasal 104. Ancaman pidana untuk pelanggaran ini tidak ringan, yakni pidana penjara dan denda yang mencapai miliaran rupiah

    ​Atas dasar potensi pelanggaran tersebut, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat didesak untuk segera mengambil langkah penindakan hukum yang tegas. Tuntutan utama dari aktivis adalah dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap dokumen Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) PT. SPP.

    Jika terbukti terjadi pelanggaran berat dan berulang terhadap izin lingkungan dan komitmen yang tertuang dalam Amdal, Pemerintah memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif tertinggi, yaitu pembekuan atau bahkan pencabutan izin lingkungan dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

    ​Kasus ini juga membawa isu krusial mengenai legalitas aktivitas tambang di lokasi Pulau Bunyu itu sendiri. Zulkarnain mengutip pandangan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang menyoroti bahwa aktivitas penambangan di Pulau Bunyu, yang merupakan pulau kecil, seharusnya tidak diperbolehkan.

    Landasan hukumnya merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), yang melarang kegiatan penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

    ​Fakta bahwa penambangan terus berlangsung di pulau kecil ini memunculkan pertanyaan hukum yang lebih dalam: apakah penerbitan izin usaha pertambangan tersebut telah melanggar Undang-Undang PWP3K sejak awal? Konsekuensinya, apabila ditemukan indikasi pelanggaran terhadap regulasi perlindungan pulau kecil, seluruh izin yang berkaitan dengan kegiatan tersebut berisiko untuk dibatalkan secara hukum, terlepas dari isu pencemaran yang terjadi saat ini.

    ​Zulkarnain menambahkan, insiden serupa bukanlah yang pertama; pada tahun 2023, jebolnya tanggul limbah tambang batu bara di Pulau Bunyu pernah menyebabkan limbah beracun mencemari pantai sepanjang 6 km dan perairan hingga 2 mil, memaksa nelayan mencari lokasi tangkap lebih jauh.

    “Kejadian berulang ini semakin memperkuat argumentasi bahwa mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terhadap PT. SPP selama ini dinilai lemah dan tidak menjerakan”. urainya sekaligus mempertanyakan tentang pengawasan lingkungan di Pulau Bunyu.

    ​Oleh karena itu, ia meminta agar Pemerintah tidak lagi bersikap permisif. Adanya dugaan pembuangan limbah langsung ke laut, ditambah potensi pelanggaran terhadap UU PWP3K, harus menjadi momentum bagi aparat penegak hukum –baik itu Kepolisian, Kejaksaan, maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan– untuk menerapkan sanksi pidana dan perdata, serta memastikan pemulihan lingkungan secara tuntas oleh pihak perusahaan.

    ​Masyarakat Bunyu berharap agar kasus ini dapat ditindaklanjuti secara transparan dan berkeadilan, mengingat keberlanjutan ekosistem pesisir dan hajat hidup nelayan lokal bergantung pada ketegasan Pemerintah.

    Penerapan sanksi pidana dan pencabutan izin dipandang sebagai langkah yang paling efektif untuk mengirimkan pesan tegas kepada seluruh pelaku usaha pertambangan agar patuh pada ketentuan hukum lingkungan, terutama di wilayah sensitif seperti pulau-pulau kecil. (Prabu-1KU)

Back to top button