Tambang

  • PMJ Tegaskan Tak Lakukan Tambang Ilegal

    TARAKAN – PT Pipit Mutiara Jaya (PMJ) kembali menegaskan bahwa tuduhan praktik tambang ilegal di Site Bebatu, Kabupaten Tana Tidung, tidak berdasar dan berpotensi menyesatkan publik. Perusahaan menyatakan bahwa aktivitas yang dipersoalkan oleh PT Mitra Bara Jaya (MBJ) bukanlah kegiatan penambangan, melainkan pembuatan parit darurat sebagai langkah mitigasi terhadap potensi longsoran air rawa yang terjadi pasca force major tahun 2019.

    PMJ menjelaskan bahwa parit sepanjang 700 meter dengan lebar sekitar dua meter itu dibuat untuk mengalirkan air secara aman dari area Pit 8 yang terdampak bencana. Menurut perusahaan, sebagian aliran air longsoran memang meluber ke luar batas konsesi PMJ dan masuk ke area MBJ, namun hal tersebut merupakan konsekuensi dari kondisi alam, bukan tindakan eksploitasi batubara. PMJ menegaskan bahwa tidak ada kegiatan produksi batubara di area milik perusahaan lain.

    Tuduhan terhadap PMJ pertama kali dilayangkan oleh PT MBJ melalui laporan ke Mabes Polri sejak 2023. MBJ menuding PMJ telah melakukan penambangan tanpa izin di wilayah IUP MBJ dan koridor negara di Desa Bebatu. Mereka juga menyebut aktivitas PMJ telah memasuki kawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Namun PMJ membantah keras tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk kesalahpahaman teknis.

    Manager Legal Corporate PT PMJ, Johny Ahim, menyatakan bahwa laporan tersebut merupakan fitnah yang tidak berdasar dan diduga kuat sebagai upaya menghalangi proses perpanjangan izin usaha yang telah diajukan sejak 2024.

    “Kami tidak pernah menambang di area MBJ. Yang kami lakukan adalah membuat parit untuk mencegah bencana. Tuduhan ini bukan hanya keliru, tapi juga merugikan masyarakat dan daerah,” tegas Johny. Ia menilai tuduhan tersebut tidak memiliki bukti hukum yang sah dan justru menghambat kontribusi perusahaan terhadap pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang.

    PMJ juga membantah klaim bahwa mereka telah menambang batubara milik MBJ sebanyak 1.650.000 ton. Menurut Johny, angka tersebut tidak masuk akal dan tidak didukung oleh data teknis di lapangan. Ia mengajak semua pihak untuk melakukan peninjauan langsung ke lokasi agar dapat melihat bahwa yang dibuat hanyalah parit air, bukan aktivitas tambang.

    “Kalau memang ada niat baik, mari kita lihat langsung ke lapangan. Jangan hanya berasumsi dari kejauhan,” tegasnya.

    Sejak Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) PMJ berakhir pada 11 Maret 2025, perusahaan telah mengajukan perpanjangan izin sesuai prosedur. Namun proses tersebut terhambat oleh laporan dan gugatan dari MBJ, yang dinilai PMJ sebagai bentuk penjegalan yang tidak sehat dalam iklim usaha. Jika hal ini terus berlangsung, dampaknya akan sangat dirasakan oleh masyarakat di tiga desa sekitar tambang.

    Masyarakat Desa Bebatu, Bandan Bikis, dan Sengkong mengaku kehilangan mata pencaharian sejak operasional PMJ terhenti. Program Corporate Social Responsibility (CSR) yang selama ini menopang kegiatan sosial desa juga ikut terhenti. Tokoh masyarakat Bebatu menyampaikan harapan agar PMJ dapat kembali beroperasi karena keberadaan perusahaan telah memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan warga.

    PMJ selama ini dikenal aktif dalam mendukung pembangunan desa melalui program CSR yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat, seperti bantuan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Selain itu, keberadaan PMJ juga berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Tana Tidung. Jika izin operasional tidak segera diperpanjang, maka potensi kehilangan PAD akan semakin besar.

    Dalam konteks hukum dan teknis pertambangan, PMJ menekankan bahwa langkah mitigasi yang dilakukan merupakan bagian dari tanggung jawab perusahaan terhadap keselamatan lingkungan. Pembuatan parit darurat adalah tindakan yang lazim dilakukan untuk mencegah kerusakan lebih besar. Oleh karena itu, PMJ meminta agar tuduhan illegal mining terhadap tindakan tersebut dikaji ulang secara profesional.

    Perusahaan berharap agar proses perpanjangan izin dapat segera diselesaikan secara adil dan transparan. PMJ menyatakan komitmennya untuk terus berkontribusi terhadap pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang. Mereka juga meminta agar iklim usaha di sektor pertambangan dijaga agar tetap sehat dan tidak diwarnai oleh konflik antarperusahaan.

    Dengan klarifikasi ini, PMJ berharap masyarakat dan pemangku kepentingan dapat melihat secara objektif bahwa tuduhan illegal mining tidak memiliki dasar kuat. Perusahaan menegaskan bahwa keberadaan mereka bukan ancaman, melainkan bagian dari solusi ekonomi dan sosial di Kabupaten Tana Tidung. Dukungan masyarakat menjadi bukti bahwa PMJ masih dibutuhkan untuk mendorong kemajuan daerah. (PRABU-1KU)

  • Tuntutan Hukum dari Pencemaran Lingkungan Mencuat di Bunyu

    BUNYU – Dugaan pelanggaran hukum serius di sektor lingkungan hidup kembali mencoreng citra pertambangan di Kalimantan Utara. Kali ini, sorotan tajam diarahkan kepada PT. SPP (Saka Putra Perkasa) yang beroperasi di Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan, setelah ditemukan aliran air pekat yang diduga kuat merupakan limbah batu bara dan dibuang langsung ke laut.

    Peristiwa yang dilaporkan terjadi di Jalan Sungai Lumpur, Tanjung Batu, Desa Bunyu Barat, ini memicu desakan keras dari masyarakat dan aktivis untuk penegakan hukum maksimal, termasuk potensi pencabutan izin usaha.

    ​Pengungkapan kasus ini datang dari Zulkarnain, seorang pemuda lokal yang dikenal kritis terhadap isu pencemaran lingkungan. Ia mengaku terkejut ketika meninjau lahan kebunnya dan mendapati jalan terhalangi oleh jalur air yang terkandung material limbah batu bara dari PT. SPP.

    Menurutnya, air limbah tersebut tidak melalui proses sterilisasi yang memadai sebelum dibuang, sebuah indikasi kuat adanya kelalaian prosedur yang bertentangan dengan standar baku mutu lingkungan yang diwajibkan oleh regulasi.

    “Perbuatan pembuangan limbah tambang yang tidak diolah itu menimbulkan dampak kerusakan yang sangat signifikan. Selain merusak ekosistem pesisir, pencemaran ini secara langsung menyulitkan para nelayan mencari ikan di perairan Bunyu, mengancam mata pencaharian utama masyarakat lokal”, ujar Zulkarnain yang mengkhawatirkan kerusakan lingkungan meluas di Pulau Bunyu.

    ​Dalam perspektif hukum, tindakan pembuangan limbah ke media lingkungan tanpa izin yang menyebabkan pencemaran dapat dikategorikan sebagai tindak pidana lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) secara tegas melarang setiap orang melakukan dumping (pembuangan) limbah dan/atau bahan ke media lingkungan tanpa izin, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 Jo. Pasal 104. Ancaman pidana untuk pelanggaran ini tidak ringan, yakni pidana penjara dan denda yang mencapai miliaran rupiah

    ​Atas dasar potensi pelanggaran tersebut, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat didesak untuk segera mengambil langkah penindakan hukum yang tegas. Tuntutan utama dari aktivis adalah dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap dokumen Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) PT. SPP.

    Jika terbukti terjadi pelanggaran berat dan berulang terhadap izin lingkungan dan komitmen yang tertuang dalam Amdal, Pemerintah memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif tertinggi, yaitu pembekuan atau bahkan pencabutan izin lingkungan dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

    ​Kasus ini juga membawa isu krusial mengenai legalitas aktivitas tambang di lokasi Pulau Bunyu itu sendiri. Zulkarnain mengutip pandangan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang menyoroti bahwa aktivitas penambangan di Pulau Bunyu, yang merupakan pulau kecil, seharusnya tidak diperbolehkan.

    Landasan hukumnya merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), yang melarang kegiatan penambangan mineral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

    ​Fakta bahwa penambangan terus berlangsung di pulau kecil ini memunculkan pertanyaan hukum yang lebih dalam: apakah penerbitan izin usaha pertambangan tersebut telah melanggar Undang-Undang PWP3K sejak awal? Konsekuensinya, apabila ditemukan indikasi pelanggaran terhadap regulasi perlindungan pulau kecil, seluruh izin yang berkaitan dengan kegiatan tersebut berisiko untuk dibatalkan secara hukum, terlepas dari isu pencemaran yang terjadi saat ini.

    ​Zulkarnain menambahkan, insiden serupa bukanlah yang pertama; pada tahun 2023, jebolnya tanggul limbah tambang batu bara di Pulau Bunyu pernah menyebabkan limbah beracun mencemari pantai sepanjang 6 km dan perairan hingga 2 mil, memaksa nelayan mencari lokasi tangkap lebih jauh.

    “Kejadian berulang ini semakin memperkuat argumentasi bahwa mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terhadap PT. SPP selama ini dinilai lemah dan tidak menjerakan”. urainya sekaligus mempertanyakan tentang pengawasan lingkungan di Pulau Bunyu.

    ​Oleh karena itu, ia meminta agar Pemerintah tidak lagi bersikap permisif. Adanya dugaan pembuangan limbah langsung ke laut, ditambah potensi pelanggaran terhadap UU PWP3K, harus menjadi momentum bagi aparat penegak hukum –baik itu Kepolisian, Kejaksaan, maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan– untuk menerapkan sanksi pidana dan perdata, serta memastikan pemulihan lingkungan secara tuntas oleh pihak perusahaan.

    ​Masyarakat Bunyu berharap agar kasus ini dapat ditindaklanjuti secara transparan dan berkeadilan, mengingat keberlanjutan ekosistem pesisir dan hajat hidup nelayan lokal bergantung pada ketegasan Pemerintah.

    Penerapan sanksi pidana dan pencabutan izin dipandang sebagai langkah yang paling efektif untuk mengirimkan pesan tegas kepada seluruh pelaku usaha pertambangan agar patuh pada ketentuan hukum lingkungan, terutama di wilayah sensitif seperti pulau-pulau kecil. (Prabu-1KU)

Back to top button